14 Agustus 2008

KAMPUS STOVIA

KAMPUS STOVIA, Batavia, menjelang Mei 1908. Sejumlah mahasiswa kasak-kusuk hendak membentuk organisasi pergerakan. Mereka prihatin dengan nasib bangsa yang sudah 300 tahun lebih dijajah Belanda. Namun mereka berada di STOVIA (School Tot Opleiding Van Indlandsche Arsten/Sekolah Kedokteran Bumi Putera), sekolah bikinan Belanda dengan staf dosen semuanya Belanda pula. Gerak-gerik mereka pasti diawasi namun niat mereka sudah bulat.
Ide pembentukan organisasi itu telah digodok sekitar setahun, setelah tahun 1907 sejumlah mahasiswa STOVIA, di antaranya R Soetoemo, bertemu dengan Wahidin Soediro Hoesodo, seorang dokter lulusan Sekolah Dokter Jawa (dulu kampusnya terletak dekat Rumah Sakit Militer Weltervreden yang sekarang menjadi RSPAD Gatot Subroto). Wahidin datang ke STOVIA untuk mempropagandakan studifonds (pengumpulan dana bantuan pendidikan dari para priayi Jawa).
Pertemuan dengan Wahidin itu memicu semangat sejumlah mahasiswa untuk melakukan sesuatu bagi bangsanya. Maka, pada 20 Mei 1908 lahirlah organisasi Boedi Uetomo di kampus STOVIA dengan Ketua R Soetoemo, Wakil Ketua M Soelaiman, Sekretaris I Soewarno, Sekretaris II M Goenawan Mangoenkoesoemo, dan Bendahara R Angka.
Munculnya organisasi mahasiswa (pelajar) di sekolah bentukan Belanda itu membuat para dosen gerah. Mereka ingin R Soetoemo dan teman-temannya segera dikeluarkan dari STOVIA. Namun Direktur STOVIA, Dr HF Roll, tidak sepaham dengan mayoritas dosen. Rapat dosen pun digelar dan berlangsung alot karena Roll tetap membela R Soetoemo dan kawannya.
"Apakah di antara tuan-tuan yang hadir di sini tidak ada yang lebih merah (nekad/berani. Red) dari Soetoemo waktu tuan-tuan berumur 18 tahun?" kata Roll dalam rapat itu.
Kalimat pembelaan Roll tampaknya ampuh. Para dosen akhirnya sepakat untuk membiarkan Soetoemo dan rekan-rekannya belajar di STOVIA. Boedi Oetoemo pun dibiarkan berkembang, malah diberi kesempatan untuk mempersiakan konggres pertamanya pada 3-5 Oktober 1908 yang dilangsungkan di Yogyakarta.
Kalimat Roll di atas serta peragaan sidang dosen STOVIA mengenai keberadaan Boedi Oetomo kini menjadi salah satu koleksi Museum Kebangkitan Nasional di Jalan Abdurrahman Saleh Nomor 26, Jakarta Pusat. Museum yang pintu utamanya bergaya neo-klasik itu dulunya merupakan kampus STOVIA, tempat para pendiri Boedi Oetomo belajar.
Kampus berkonsep boarding school itu dibangun mulai tahun 1889 sampai 1901 di atas lahan seluas 15.742 meter. Gedung itu mulai digunakan sebagai kampus STOVIA dari tahun 1902 sampai 1925. Para mahasiswanya diharuskan tinggal di asrama sampai selesai sekolah. Maka, selain ruang kelas dan laboratorium, di dalamnya ada asrama, tempat olah raga, kantin, dapur, dan aula.
STOVIA merupakan perkembangan dari Sekolah Dokter Jawa. HF Roll, saat menjabat sebagai direktur Sekolah Dokter Jawa, mengusulkan ke pemerintah Belanda agar menyelengggarakan pendidikan kedokteran yang dapat disetarakan dengan pendidikan kedokteran yang ada di Eropa (Belanda). Dari usalan Roll itu munculah STOVIA.
Sementara Sekolah Dokter Jawa bermula ketika sekitar tahun 1850 di daerah Banyumas, Jawa Tengah, terjadi wabah penyakit. Karena jumlah tenaga medis terbatas, pemerintah Belanda merasa kewalahan. Berdasarkan kondisi itu, Belanda bermaksud mendirikan sebuah tempat untuk mendidik para pemuda yang cakap sebagai vaksinator (juru suntik).
Beda dengan Sekolah Dokter Jawa yang hanya menerima siswa dari Jawa, STOVIA menerima siswa dari berbagai daerah di Nusantara. Lama pendidikan tiga tahun, kemudian belajar kedokteran sembilan hingga 10 tahun. Para pelajar yang diterima masuk Stovia adalah lulusan Europeesche Legere School (ELS) atau sederajat.
STOVIA berkembang pesat sampai kemudian terasa tidak memadai lagi sebagai tempat pendidikan calon dokter. Maka, mulai tahun 1920 secara bertahap pendidikan STOVIA di daerah Kwini, Senen, dipindahkan ke Salemba (sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia atau UI yang kemudian menjadi cikal-bakal lahirnya UI). Setelah kegiatan pendidikan STOVIA akhirnya semua terpusat di Salemba, kampus STOVIA yang lama sejak tahun 1926 digunakan untuk tempat pendidikan MULO dan AMS (sekarang setingkat SMP dan SMU) serta untuk Sekolah Asisten Apoteker.
Pada masa pendudukan Jepang, 1942-1954, gedung itu dipakai untuk menampung tentara Belanda yang menjadi tawanan perang Jepang. Setelah Indonesia merdeka, mulai tahun 1945 - 1973, gedung itu dihuni bekas keluarga tentara Belanda dan orang-orang Ambon.
Karena nilai sejarah yang dimiliki gedung itu, yaitu berkaitan dengan kelahiran Boedi Oetoemo pada 20 Mei 1908 yang sejak tahun 1948 ditetapkan sebagai hari Kebangkitan Nasional maka pada tahun 1973 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memugar gedung tersebut dan pada 20 Mei 1974 meresmikannya sebagai Gedung Kebangkitan Nasional. Para penghuninya dipindahkan.
Selanjutnya, komplek gedung berbentuk segi empat tersebut dijadikan empat buah museum yaitu Museum Budi Utomo, Museum Wanita, Museum Pers dan Museum Kesehatan sampai akhirnya pada 7 Februari 1984 menjadi Museum Kebangkitan Nasional.
Total koleksi museum itu saat ini sebanyak 2.042 buah berupa bangunan, mebel, jam dinding, gantungan lonceng, perlengkapan kesehatan, pakaian, senjata, foto, lukisan, patung, diorama, peta/maket/sketsa, dan miniatur. Koleksi-koleksi yang semuanya berkaitan dengan benda-benda bersejarah pergerakan nasional sampai dengan Indonesia merdeka itu dipajang di sejumlah ruang pamer, antara lain di ruang awal pergerakan, ruang kesadaran nasional, dan ruan pergerakan, dan ruang memorial Boedi Oetomo.
Kondisi museum itu terbilang cukup terpelihara. Komposisi bangunan masih seperti ketika pertama kali STOVIA mulai beroperasi.
Sayang, museum yang sekarang dikelola Departemen Pariwisara dan Kebubayaan sepi pengujung. Setahun rata-rata hanya ada 15 ribu pengunjung. "Umumnya pelajar yang datang berombongan," Kata Kasie Koleksi dan Bimbingan Edukasi museum itu, Isnudi, Rabu (16/7).
Padahal harga tiket masuknya murah, hanya Rp 750 untuk dewasa dan Rp 250 untuk anak-anak. Selain menikmati koleksi, halaman tengah museum yang lumayan lapang serta dipenuhi pohon peneduh pun bisa buat duduk santai atau sekadar relaksasi. Museum memang belum menjadi tujuan wisata yang diminati di negeri ini.
Tahun ini, tepat 100 tahun berdirinya Boedi Oetomo yang kemudian dijadikan tonggak kebangkitan nasional, kebangkitan Indonesia sebagai nation. Semoga saja semangat nasionalisme yang dikobarkan para pendiri Boedi Oetomo terus berdampak hingga kini demi Indonesia yang lebih maju. Nasionalisme sesungguhnya tidak kenal kata selesai atau tuntas, nasionalisme selalu berproses atau 'menjadi'.

0 komentar:

dHaNa bHebeg's Fan Box

 
Copyright (c) 2010 Journal si bhebeg.