16 Agustus 2008

Mari Maknai Kebangkitan Nasional

Ada satu hal yang sudah selama puluhan tahun tidak menjadi pemikiran banyak orang, yaitu gejala bahwa Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei sudah tidak lagi diperingati secara khidmat atau selayaknya sebagai peristiwa yang penting dalam sejarah bangsa.

Bagi mereka yang masih ingat kepada masa di bawah kepemimpinan Bung Karno, maka akan terasa betapa besar bedanya antara peringatan Hari Kebangkitan Nasional sebelum 1965 dengan pasca-Orde Lama. Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang diselenggarakan sampai 1965 selalu sarat dengan dikobarkannya semangat untuk menghormati jasa-jasa para perintis kemerdekaan, semangat untuk mempersatukan bangsa, semangat untuk bersama-sama meneruskan revolusi menuju masyarakat adil dan makmur.

Hal ini juga diakui oleh Timbas Tarigan, Ketua Komisi E DPRD Sumut. Saat ini peringatan Kebangkitan Nasional hanya sekadar sebuah seremonial saja, sehingga arti pentingnya kebangkitan nasional terlupakan," terang Timbas Tarigan.

Timbas Tarigan berharap agar momen kebangkitan nasional bukan hanya diperingati secara seremonial belaka, tetapi hendaknya dapat dijadikan sebagai momen introspeksi diri terhadap apa yang telah kita lakukan selama ini.

Sependapat dengan Timbas Tarigan, Ikrimah Hamidi ST Ketua FPKS DPRD Kota Medan mengatakan bahwa momen kebangkitan nasional jangan hanya dijadikan sebagai kegiatan seremonial saja. Menurut Ikrimah Hamidi, hal ini karena negara Indonesia saat ini benar-benar berada dalam kondisi yang sangat kritis.

"Lihat saja keadaanya, korupsi yang semakin parah
, mutu pendidikan yang masih rendah, kemiskinan,… dan sederet persoalan lainnya," papar Ikrimah Hamidi.

Lebih rinci Ikrimah mengungkapkan, saat ini masyarakat sudah banyak kehilangan identitas diri. Seolah-olah nasionalisme itu hanya diartikan sebagai kecintaan terhadap bangsa yang ditunjukkan dengan perayaan-perayaan dan acara seremonial saja. Tetapi sikap nyata untuk membangun bangsa dengan taat hukum, tidak korupsi, menjaga kebersihan, melindungi sesama, memberi toleransi agama dengan kepercayaan masing-masing, tidak diperhatikan sebagai hal mendasar dalam menyikapi nasionalisme

Salah satu faktor kehancuran sebuah bangsa disebabkan oleh moral rakyatnya yang tidak lagi mulia seperti yang pernah diajarkan oleh dr. Sutomo dan kawan-kawannya ketika mendirikan Budi Utomo pada 20 Mei 1908 di Stovia.

"Kehancuran bangsa ini diawali oleh budi pekerti dan moral yang tidak utama dan mulia. Budi Utomo mengajarkan budi pekerti sebagai yang mulia sebagai yang utama," kata Bambang Suprianto, cucu mantu salah satu pendiri Budi Utomo, dr. Suradji Tirtonegoro kepada GudegNet (14/05).

Menurut Bambang, saat ini khususnya generasi muda dan anak-anak tak lagi mengenal tokoh pendiri Budi Utomo. Yang mereka kenal hanyalah dr. Wahidin Sudirohusodo. Padahal, nama Budi Utomo sendiri diusulkan oleh dr. Suradji Tirtonegoro, dan anehnya banyak yang tidak mengenalnya.

"Saat ini, anak muda banyak yang tidak mengenal tokoh-tokoh pendiri Budi Utomo. Dr. Suradji Tirtonegoro, seorang yang mencetuskan nama Budi Utomo pun tidak dikenalnya. Bagaimana mungkin mereka dapat mengetahui ajarannya kalau kenal saja tidak," kata Bambang.

Bambang Suprianto adalah salah satu dari keluarga pendiri Budi Utomo yang 18 Mei nanti akan berziarah ke makam-makam para tokoh Budi Utomo seperti dr. Soeradji Tirtonegoro, dr. Wahidin Sudirohusodo, dr. Rajiman Wedyodiningrat (Mlati), dr. M. Soelaiman (Purworejo), dr. RAA Tirtokusumo (Karanganyar), dr. Goembrek (Dawuhan), dr. Angka (Kabutuh), dr. Gunawan Mangunkusumo serta dr. Cipto Mangunkusumo (Ambarawa


Maka dari itu kita harus mengerti dan memahami benar apa itu Kebangkitan Nasional. Negara kita adalah negara yang kaya. Berarti kita juga harus kaya akan kesadaran bersatu,adil,jujur dan bertanggung jawab.

0 komentar:

dHaNa bHebeg's Fan Box

 
Copyright (c) 2010 Journal si bhebeg.