27 Agustus 2008

Mengenang Peristiwa Kebangkitan Nasional ( Part I )

Berbagai peristiwa yang terjadi saat hari kebangkitan nasional 20 Mei 2008( Part I)

Memperingati 100 Tahun Harkitnas, Masyarakat Indonesia Di Swedia Gelar Dialog Interaktif
Dalam rangka 100 Tahun Harkitnas, yang juga bertepatan dengan Peringatan 80 Tahun Sumpah Pemuda dan 10 Tahun Reformasi, KBRI Stockholm pada tanggal 25 Mei 2008 mengadakan Dialog Interaktif bertema ”Retrospeksi Dan Tantangan Ke Depan.”
Dialog ini ditujukan untuk memberikan sumbangan pikiran kepada Pemerintah dan masyarakat Indonesia di tanah air pada umumnya untuk terus maju ditengah situasi ekonomi dunia yang semakin tidak menentu dan arus globalisasi.
Dialog diikuti oleh masyarakat Indonesia dari Stockholm maupun sekitarnya, seperti Göteborg dan Umeå yang berjarak lebih dari 800 km dari ibukota Swedia dan dibuka oleh Dubes LBBP RI untuk Swedia Linggawaty Hakim. Para peserta dialog interaktif Harkitnas di Stockholm. (M. Pakuwibowo)
Para pembicara pada dialog ini terdiri dari 3 orang yang mewakili beberapa kelompok masyarakat Indonesia yaitu Tom Ilyas dari Stockholm mewakili kelompok masyarakat seminar, Abram Perdana mahasiswa Phd dari Chalmers Univ. di Göteborg mewakili kelompok mahasiswa dan masyarakat Indonesia di pantai barat Swedia, dan Dr. Trisasi Lestari, mahasiswa Phd Kesehatan Masyarakat di Univ. Umeå Swedia belahan utara. Bertindak sebagai Moderator adalah Konselor Politik KBRI Stockholm Endang Wirawan.
Dialog ini menyepakati beberapa hal, diantaranya:
1.Saat ini, adanya keterbukaan informasi sehingga publik dapat memonitor secara langsung pelaksanaan kebijakan pemerintah maupun penggunaan dana APBN misalnya yang diperuntukkan pendidikan.
2.Era ini memungkinkan masyarakat semakin terbuka dalam mengkritisi proses jalannya pemerintahan dan pembangunan.
3.Kebijakan luar negeri Indonesia perlu terus dilandasi kekuatan diplomasi. Indonesia hendaknya tidak hanya dilihat sebagai sebuah negara dengan berbagai persoalan tetapi juga sebuah negara yang mempunyai banyak peluang untuk dikembangkan.
4. Diperlukan suatu kebijakan yang dapat lebih banyak memikat para lulusan sekolah di luar negeri untuk kembali ke tanah air dan membangun Indonesia yang lebih maju. Salah satunya adalah penetapan UU Dwi Kewarganegaraan yang tidak dibatasi oleh faktor usia.
5. Perlu dilakukan aksi kongkrit dari setiap WNRI, baik di dalam maupun di luar negeri sebagai kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa.Masyarakat Indonesia di Swedia akan terus saling bekerjasama dan mengembangkan jejaring kerja dengan mitra mereka di Indonesia dalam upaya untuk terus memberikan sumbangan berarti kepada bangsa Indonesia termasuk meng”encourage” para intelektual (lulusan Univ. di Swedia) agar kembali ke tanah air dan bersama-sama membangun Indonesia untuk lebih maju. Indonesia Bisa!!
KBRI Stockholm akan terus menyelenggarakan Dialog Interaktif dengan masyarakat Indonesia di Swedia dalam upaya berkomunikasi secara terbuka diantara semua bangsa Indonesia di luar negeri mengenai berbagai perkembangan di dalam negeri. Diharapkan melalui Dialog semacam ini masyarakat Indonesia di Swedia dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pembangunan nasional Indonesia.(Sumber: Situs KBRI Stockholm-Swedia,
SatuDunia, Jakarta. Kegiatan pisah-sambut dan orasi politik 100 tahun Kebangkitan Nasional di YTKI, Minggu (18/5), menyerukan agar Indonesia merdeka dari utang dan penjajahan baru.
________________________________________________
Kegiatan itu dilaksanakan untuk memperingati seratus tahun kebangkitan nasional sekaligus serah terima kepengurusan Koalisi Anti Utang yang sebelumnya di jabat oleh Kusfiardi dan sekarang digantikan oleh Dani Setiawan.
Kegiatan tersebut dihadiri oleh sekitar seratus undangan serta diisi dengan orasi dari beberapa tokoh. Mereka yang memberikan orasi politik antara lain, Syamsul Hadi (pengajar FISIP UI), Henry Saragih (Ketua Federasi Serikat Petani Indonesia), Anwar 'sastro' Ma'ruf (Koordiator Aliansi Buruh Menggugat), Mashadi (Forum Umat Islam), Chalid Muhammad (Tokoh Kaum Muda), dan Ray Rangkuti (Lingkar Madani).
Dalam orasi politiknya Ketua Koalisi Anti Utang periode 2008-2012, Dani Setiawan mengatakan, bahwa semangat kebangkitan nasional harus menjadi tonggak perlawanan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari jerat utang luar negeri. Pasca proklamasi kemerdekan negara-negara Imperialis tidak menginginkan Indonesia untuk merdeka. Agresi militer Belanda di awal-awal kemerdekaan menunjukan bahwa pihak penjajah tidak merelakan Indonesia sepenuhnya merdeka. Hingga akhirnya, lewat Konferensi Meja Bundar (KMB) mereka berhasil memaksa Indonesia untuk membayar rampasan perang dan menanggung warisan utang luar negeri pemerintah Hindia Belanda, masing-masing sebesar US$2,5 milyar dan US$4 milyar.
Hingga hari ini praktek penjajahan tersebut terus berlangsung. Lewat Lembaga keuangan internasional yang mendorong kebijakan deregulasi guna memperkokoh liberalisasi ekonomi di Indonesia melalui transaksi utang luar negeri. Termasuk membuka sektor-sektor strategis, seperti pertambangan dan kehutanan bagi masuknya investasi asing. Pada akhirnya, kondisi tersebut telah berakibat terjadinya praktek de-nasionalisasi ekonomi.
Kuatnya arus de-nasionalisasi ekonomi telah membentuk kembali susunan ekonomi Indonesia di bawah dominasi korporasi asing yang saat ini menguasai 85,4% konsesi pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa Efek Jakarta, dan lebih dari separuh (50%) kepemilikan perbankan di Indonesia (FRI, 2007).
Hingga kini 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia masih dikuasai oleh korporasi asing, yang juga menduduki 10 besar produsen migas di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy, 2007).
Disamping itu program restrukturisasi utang pemerintah juga tidak mampu melepaskan bangsa ini dari jerat utang. Setiap tahun sebanyak 40% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dihabiskan untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri. hal ini membuat anggaran negara gagal menjalankan fungsinya sebagai instrumen untuk memenuhi kebutuhan hak dasar rakyat, seperti pendidikan dan kesehatan. Demi menjamin kelangsungan pembayaran utang, pemerintah bahkan merancang agenda pemiskinan rakyat dengan cara mengurangi alokasi subsidi hingga 0,3% secara bertahap hingga 2009.
Saat ini, jumlah utang luar negeri kita mencapai US$ 136,640 miliar (2007) dengan posisi pembayaran cicilan pokok dan bunga setiap tahunnya dalam APBN mencapai Rp. 90 trilyun. Beban utang luar negeri ini akan terus menghantui perekonomian Indonesia di masa yang akan datang jika pemerintah tidak berani menegosiasikan penghapusan utang.
Tepat hari ini pula, sepuluh tahun lalu negara maju yang tergabung dalam G8 berkomitmen untuk menghapus utang negara miskin. Namun realisasinya masih jauh dari harapan. Dari komitmen penghapusan utang sebesar US$100 miliar sampai hari ini hanya terealisasi sebesar US$88 miliar (World Bank, 2007). Sedangkan untuk setiap US$1 hibah yang diberikan pada negara miskin, mereka harus mengembalikan sebesar US$5 dalam bentuk pembayaran utang. Stok utang negara-negara selatan mencapai US$2,7 trilyun dan setiap harinya harus membayar utang sebesar US$100 miliar. Dari total stok utang tersebut sejumlah US$500 miliar termasuk dalam kategori utang haram (odious debt) yang diberikan kreditor kepada rezim diktator termasuk di Indonesia pada masa orde baru (jubilee debt campaign, 2008).
Jika argumentasi pemerintah tidak bisa menghapus utang sesuai dengan ketentuan Bank Dunia dan IMF karena Indonesia tidak termasuk dalam kategori negara berpenghasilan rendah. Penghapusan utang haram (odius debt) tidak terkait dengan kategori tersebut. Utang haram adalah utang yang diberikan oleh kreditor pada rezim diktator yang menindas rakyat seperti Indonesia pada masa orde baru. Utang tersebut wajib dimintakan penghapusan utang dan beban pembayarannya harus tidak dibebankan pada rakyat.
Selain itu, penghapusan utang dapat dimulai dengan membatalkan komitmen utang luar negeri yang belum dicairkan senilai US$203,75 miliar. Pembatalan tersebut berkorelasi dengan penghentian kewajiban pemerintah, untuk membayar biaya komitmen atas utang yang belum dicairkan. Berdasarkan perhitungan Koalisi Anti Utang sampai tahun 2005, jumlah yang belum dicairkan itu mencapai lebih dari US$24 miliar. Penghapusan utang juga harus mencakup proyek-proyek utang luar negeri yang rusak akibat bencana alam dan tidak bisa digunakan karena salah perencanaan dan tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat.
Sejalan dengan itu, Koalisi Anti Utang mendesak kepada pemerintah untuk melakukan audit utang luar negeri secara komprehensif dan transparan. Langkah tersebut dilakukan untuk mengetahui secara pasti berapa sesungguhnya utang luar negeri yang harus dibayar dan mana yang justeru menjadi tanggungan pihak kreditor sebagai bentuk tanggung jawab atas kesalahannya sendiri.
Audit utang harus membongkar semua perjanjian utang luar negeri kepada pihak kreditor, baik dari aspek persyaratan yang menyertainya maupun pembayaran utang luar negeri.
Audit utang luar negeri diperlukan untuk membuka kepada masyarakat luas bahwa proyek utang luar negeri selama ini tidak memberikan manfaat ekonomi yang besar dan berkelanjutan. Justeru, biaya yang harus ditanggung oleh rakyat akibat kerusakan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, serta pembayaran pokok dan bunga jauh lebih besar.

0 komentar:

dHaNa bHebeg's Fan Box

 
Copyright (c) 2010 Journal si bhebeg.